Politik Dinasti: Mumpung Masih Ada Kerabat

Selasa, 31 Januari 2023 15:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi dinasti oligarki.
Iklan

‘Demokrasi seolah-olah’ semakin  menyulitkan tampilnya figur-figur alternatif yang muncul dari kalangan masyarakat sendiri, yang tidak punya afiliasi dengan partai, yang bukan dari kerabat dekat elite politik. Rakyat semakin sulit mendapatkan pemimpin terbaik yang tumbuh dari bawah dan dari lingkungannya sendiri, sebab pencalonan kepala daerah dan legislatif didominasi oleh kerabat elite.

Setelah Gibran Rakabuming membocorkan keinginan adiknya, Kaesang Pangarep, untuk terjun ke dunia politik, muncul wacana untuk memasangkan Kaesang dengan anak elite PDI-P yang juga mantan Walikota Solo, FX Rudyatmo. Sebagai politikus debutan, Kaesang kabarnya akan diproyeksikan untuk terjun ke pilwalkot Solo, karena Gibran—Walikota Solo saat ini—kemungkinan maju ke pilgub Jawa Tengah atau provinsi lain.

Meski Kaesang belum menyatakan resmi terjun ke politik, para elite partai politik begitu bergegas membentangkan karpet merah kepada Kaesang. Tidak heran bila Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto juga buru-buru mengirim sinyal untuk membentengi Kaesang: “Tidak elok bila satu keluarga beda partai.”  Maksudnya, kalau Kaesan ingin berpolitik, ya masuk ke PDI-P, bukan partai lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahkan sudah muncul wacana tentang calon pendamping Kaesang, dan disebutlah nama Andres Rheo Yuliana Fernandez, anak Rudyatmo. Entah siapa yang melontarkan gagasan ini, tapi kecondongannya ialah sesama elite politik saling mendukung agar kerabat dekat mereka berpeluang maju ke pilkada atau pileg. Jika benar Kaesang jadi berpasangan dengan Andres, maka ini semakin menguatkan kecenderungan di kalangan elit untuk menjadikan dinasti politik sebagai praktik yang normal, lumrah, dan jamak—bukan lagi penyimpangan dari demokrasi yang sehat.

Sudah banyak elite politik yang mencalonkan isteri atau suami, anak, keponakan dengan memanfaatkan keuntungan sebagai orang yang sedang memiliki pengaruh. Saat duduk di kekuasaan, seseorang memilik akses ke berbagai sumber daya, mulai dari pusat-pusat pengambilan keputusan, jejaring relasi dengan elite lain maupun kekuatan politik lain, pihak-pihak yang menguasai sumberdaya ekonomi, dsb. Keuntungan inilah yang berpotensi dimanfaatkan saat  mencalonkan kerabat.

Terkesan bahwa para elite berbagi kesempatan di antara lingkaran elite sendiri, sehingga masing-masing kerabat berpeluang besar untuk maju. Memang mirip arisan, ada yang menang duluan, lainnya menyusul, tapi intinya semua dapat kesempatan, hanya saja tempatnya atau waktunya berbeda. Pilkada dan pileg yang terlihat demokratis itu lantas kehilangan esensinya karena orang-orang yang akan dipilih rakyat itu adalah yang sesuai dengan selera, keinginan, dan kepentingan elite sendiri.

‘Demokrasi seolah-olah’ ini semakin  menyulitkan tampilnya figure-figur alternatif yang muncul dari kalangan masyarakat sendiri, yang tidak punya afiliasi dengan partai, yang bukan dari kerabat dekat elite politik—nasional ataupun lokal. Akibat berikutnya, rakyat semakin sulit mendapatkan pemimpin terbaik yang tumbuh dari bawah dan dari lingkungannya sendiri, sebab pencalonan kepala daerah dan legislatif didominasi oleh kerabat elite. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler